MAKASSAR.WARTASULSEL.ID-Saya menghadiri reuni kecil kecilan di Cafe teman, seorang wartawan yang mencoba hidup dari pendapatan sambilannya setelah kena PHK di medianya yang hampir tiga dekade terkurung di ruang redaksi.
Saya bersama 5 orang senasib memilih satu meja bundar di pojok, nikmati selera minuman masing masing.
Temu ini dadakan lewat WA tanpa topik. Hanya ingin bertukar kabar dan bernostalgia setelah 'rumah' kami pindah dari ruangan yang menata 'lorong' meja redaksi ke ruang publik lewat 'algoritma' yang dirancang menyelesaikan masalah untuk mencapai tujuan tertentu melalui serangkaian langkah atau instruksi.
Jaman digitalisasi, 'flatform' suatu sistem yang memungkinkan berbagai aplikasi, layanan atau teknologi untuk beroperasi, menjadikan gedung megah tinggal puing puing berserakan. Karena, banyak modal bisnis media konvensional ambruk.
Saya membaca, tahun ini ada 1.200-an Wartawan di Indonesia kena PHK dari media raksasa. Seperti Kompas, MNC, Republika, Liputan 6, Jawa Pos hingga Tribun Grup juga ada media on line.
Seorang teman nyeletuk, dulu kita tunduk pada kebijakan pemilik media. Sekarang kita bisa memilih sendiri.
"Dulu saya menulis di halaman yang telah ditentukan, sekarang saya menulis untuk hati pembaca", timpal teman lainnya.
Celoteh teman menyadarkan arti 'kebebasan'. Dibanding 'kelahiran' saya di dunia jurnalistik ini dari zaman pena ke mesin ketik dan disket. Kini, masuk ke 'sudut sudut' digital, sebuah ekosistem baru.
"Peran baru kami bukan lagi sekedar pencatat peristiwa tapi penyala cahaya dalam kabut data untuk mendengar suara suara tentang kejujuran", saya coba kutip kalimat Denny JA seorang wartawan dan penulis kawakan.
Artinya, kami menulis bukan lagi untuk bertahan.Tapi untuk menyalakan cahaya di lorong zaman.
Di tengah canda tawa sambil menyeruput minuman ringan dan bertukar informasi, saya 'menangkap' inti reuni. Di lubuk hati sanubari, saya merasa bersyukur.
Ternyata 'nasib' yang menimpa kami bukanlah akhir sebuah profesi. Melainkan awal dari cara baru, hidup dari kata kata yang "menyala", jika memiliki sumber dari penghasilan lain yang 'subur' di era ini.
Saya yakin, kami sesama jurnalis konvensional bisa merajut mimpi kolektif di sudut sudut digital dengan kepiawaian dan pengalaman mengarungi dunianya lewat narasi dalam merangkai kosa kata redaksinya.
Diskusi ini mencatat, kami bukan satu satunya korban jika dibanding bergelimpangannya sejumlah pelaku bisnis yang terkapar.
Karena, profesi Jurnalisme yang diarungi selama ini bisa menjelma jadi 'Networked truth-telling truth"
Maksudnya, kami bisa tetap berkarya dan bekerja dengan cara menyampaikan kebenaran melalui jaringan yang saling terhubung. Bisa juga diartikan, mengungkap kebenaran yang mengacu pada proses penyampaian melalui jaringan platform digital dan jaringan komunikasi lainnya.
Di akhir reuni, kami berdoa semoga mendapat kekuatan, kesempatan dan kesehatan agar mampu ber 'selancar' di atas ombak yang mengusir kami dari 'pabrik' berita. Kalau tidak, itu bisa berarti, bukan hanya kehilangan profesi tapi kami telah mengalami krisis identitas.
Jurnalisme bukan tak dibutuhkan tapi akan terganti dengan jurnalisme informal. Mungkin begitu. Semoga.
(Oleh : Andi Pasamangi Wawo - Katua Dewan Penasehat PWI Sulsel)